Kacung jadi Kunci Kerangkeng

 

Hampir setiap zaman dalam lintasan perubahan bangsa ini, demarkasi baik-buruk hampir bisa dikatakan sangat  tipis. Penyebabnya bisa banyak faktor. Satu diantaranya titik berangkat kita dalam melihat fenomena yang terjadi. Saya ambil contoh apa yang menimpa organisasi Boedi Oetomo pada kongres pertama tahun 1909. Adalah pertarungan antara kaum bangsawan (berdasarkan) asal-usul melawan kaum bangsawan fikir(an).

Masing-masing beranggapan yang paling layak jadi nahkoda organisasi pergerakan tersebut. Kongres kedua ini kemudian dimenangkan oleh kaum bangsawan asal-usul. Namun tidak mengurungkan kelompok kalah untuk tetap berkiprah demi terwujudnya sebuah bangsa bernama Republik Indonesia. Mereka kemudian bergerak “diluar” system atau organisasi tersebut. Ada yang lewat jalur pendidikan (Ki Hajar Dewantara), jurnalistik, dan lainnya. Secara ciamik dan lengkap Tirto Adhi Soerjo menceritakan lewat media besutannya ketika itu.

Berada diluar Boedi Oetomo tidak membikin kelompok yang kalah kehilangan pengaruh pada gerak menuju Indonesia merdeka seutuhnya. Merekalah kelak jadi penghuni penjara penjajah. Karena tidak ingin terjebak kungkungan gelar ke-bangsa-wan(nan), keluarnya mereka diikuti dengan melepas embel-embel bangsawan yang melekat pada nama sendiri. Inilah sikap melawan sesungguhnya. Feodalisme dari dalam dan luar tidak luput gempuran kelompok kedua ini.

Berbicara soal semangat perlawanan, tidak akan terbebas dari penilaian baik dan buruk. Keduanya sangat bergantung pada sudut pandang dari penilai. Apa yang dilakukan oleh kaum bangsawan fikiran paska berlakunya politik etis dianggap sebagai keburukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dan sebaliknya untuk pribumi. Meskipun tidak semua beranggapan demikian. Terutama pemilik gelar bangsawan (asal) usul. Golongan ini dianggap perusak dari sebuah status quo.

Dari semua kelompok bangsawan fikir tadi, kebanyakan merupakan siswa dari School Tot Opleiding Van Inlansche Artsen (STOVIA). Sekolah kedokteran pertama untuk pribumi di Hindia Belanda. Artinya, peletak fondasi perlawanan terhadap segala bentuk kesewenang-wenangan adalah para (calon) tabib modern. Mungkin karena mereka adalah golongan pertama yang berhasil menyerap segala pengetahuan modern ketika itu.

Dengan semangat yang sama dan dorongan untuk menyatukan segala bentuk perlawanan pada penjajahan, pada 1926 terbentuk sebuah organisasi beranggotakan alumni STOVIA. Karena Nasionalisme jadi pengikat antar mereka, kelompok ini ambil bagian dalam menciptakan kondisi semarak melawan kolonialisme. Yang tentu saja melawan segala bentuk ketidakadilan jadi bagian organisasi yang sama.

Apa yang terjadi hari ini, tentu saja sangat bertolak belakang dengan niatan awal para bangsawan fikir ketika membangun semangat perlawanan pada segala bentuk kesewenang-wenangan. Langkah memenjarakan seseorang hanya karena stempel “kacung” dilekatkan pada organisasi yang berdiri 94 tahun silam ini, bagi saya belum seberapa dibanding upaya Tirto Adhi Soerjo dan kawan-kawan saat menggebuk pemerintah Hindia Belanda seabad silam.

Saya pribadi bukan pendukung pelaku penyebut kata “kacung” tadi. Tapi apa yang menimpanya bagi saya adalah sebuah persoalan serius. Jika sebuah upaya untuk menyadarkan khalayak saat dianggap terjadi sebuah ketidakadilan dianggap menyimpang, apa bedanya kelompok ini dengan para penjajah yang menguras tanah Indonesia lebih dari tiga abad lamanya?

Saya kira para anggota kelompok atau organisasi tertua ini seharusnya lebih berbenah. Setidaknya membaca sejarah pergerakan bangsa ini dan kontribusi para senior mereka bisa jadi permulaan. Termasuk mempelajari segala bentuk perlawanan yang ditempuh para pendahulu mereka.

Segala upaya kriminalisasi adalah bentuk mempertahankan status quo. Dan jika ini terjadi, sudah bisa dipastikan ada yang salah dengan organisasi tertua ini. Mungkin karena sudah tua, jadi banyak khilaf. Salah satunya jadi cepat lupa. Lupa pada sejarah dan lupa diri.

Wahai para tabib modern, belajarlah pada sejarah.

Mari Lawan Malapraktik, Hei Kaum Intelektual!!





Kita akan buka pembahasan malapraktik lewat ke-cendikia-wan menurut Alvin Ward Gouldner dalam buku The Future of Intellectuals and the Rise of the New Class (1979). Menurut sosiolog dari Washington University ini, kecendiakawan terbagi atas dua; Intelegensia dan Intelektual. Seperti diulas sedikit oleh Daniel Dhakidae dalam esai biografi Toety Azis dan Kaum Perempuan dalam Profesi Jurnalistik (Menerjang Badai Kekuasaan, Kompas, 2015).

Kedua batasan tadi memiliki perbedaan siginifikan. Kecendiakawan yang minat hanya pada hal fundamental teknis semata disebut dengan Intelegensia. Untuk kategori kedua adalah kecendiakawan yang minatnya seputar ihwal kritis, emansipatoris, dan hermaneutik adalah Intelektual. Karena itupula untuk kategori kedua ini sering dinilai politis atau terjebak didalamnya.

Meskipun kedua batasan diatas tidak dengan tegas diulas oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sedikit banyak telah jadi acuan sehari-hari. Disaat bersamaan kedua jenis kecendikawan tersebut tidak pernah bertukar tempat saat kita melabeli sebuah tindakan. Yang paling kelihatan ialah pemakaian kata intelektual. Kata ini paling sering dipakai dengan embel-embel tambahan.

Setelah memahami dua pembagian kecendikiawan diatas, kita kembali pada batasan malapraktik. Acuan pertama saya adalah kamus asal-usul kata (Etymology). Kata ini pertama kali diperkenalkan dan digunakan dalam literature popular pada tahun 1670 (The Portuguese in West Africa, 1415–1670: A Documentary History, Cambridge University Press). Meskipun ada juga sumber referensi lain mengatakan bahwa dua puluh tahun kemudian baru resmi tersebar, intinya awal abad 17 adalah titik berangkat istilah ini bergulir.

Dari segi defisini, jika berdasar acuan pertama bermakna: suatu bentuk penanganan terburuk pada penyakit, kelahiran, atau berakibat cidera tubuh permanen, tindakan kecerobohan , atau sebuah niat jahat. Setidaknya ada lima kategori yang termasuk dalam kelompok batasan tindakan malapraktik. Jika salah satu atau semuanya terpenuhi, seseorang atau kelompok profesi dinyatakan telah melakukan sebuah malapraktik.

Acuan kedua saya adalah kamus kata tertua manusia, Meriam Webster Dictionary. Menurut kamus yang berumur 189 tahun ini, malapraktik adalah (sebuah tindakan) melalaikan tugas professional atau kegagalan untuk menjalankan keterampilan professional yang mengakibatkan cidera, kehilangan, atau kerusakan. Dari sinipun kita mendapat tiga kata kunci sebagai akibat dari sebuah malapraktik. Cidera, kehilangan, dan kerusakan.

Acuan ketiga saya adalah KBBI edisi kelima. Kamus dalam bahasa Indonesia ini menjelaskan kata malapraktik adalah praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik. Tunggu dulu, sebelum kita lanjut, sebaiknya kita pahami dulu penggunaan kata malapraktik itu sendiri. Yang benar adalah malapraktik dan bukan malpraktek. Saya rasa ini juga penting, mengingat masih banyak dari kita kurang mahir menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kasihan almarhum J.S Badudu jika tahun bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu seenaknya “diperkosa” oleh anak kandungnya.

Mari kita lanjut.

Berangkat dari tiga acuan tersebut diatas, benang merah dari malapraktik adalah dampak yang ditimbulkan. Kelalaian, cidera, kerusakan, dan kehilangan (nyawa). Karena kebanyakan “korban” dari itu semua ketika berurusan dengan salah satu profesi kesehatan, KBBI dengan lugas dan menohok mengelompokkan pelakunya adalah dokter. Dan begitulah kenyataan dilapangan.

Apakah tidak ada upaya untuk menghentikan malapraktik? Ada. Salah satunya lewat pembentukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) pada tahun 2006. Sekaligus informasi ini mengantar kita pada dua batasan kecendikiawan pembuka diatas.

Bukan dalam rangka membahas aspek profesionalitas, tetapi dari aspek jenis cendikiawan. Dokter sebagai sebuah ilmu yang berorientasi pada aspek teknis kita masukkan dalam kelompok intelegensia. Segala aktifitasnya merujuk pada kondisi tersebut. Karena kaum intelegensia tidak bisa berdiri sendiri, maka dibutuhkan kaum intelektual, sebagai lawan tanding sekaligus teman.

Persoalan kemudian muncul saat kaum intelegensia memilih karib para politisi. Apalagi jika menggunakan politisi tersebut untuk mendukung segala bentuk kekeliruannya. Ambillah contoh kejadian malapraktik. Kekeliruan demi kekeliruan akan selalu terjadi dan pihak yang paling banyak dikorbankan adalah masyarakat kebanyakan.

Disinilah yang menurut saya kelahiran kaum intelektual dibutuhkan demi menghindari jatuhnya korban lebih banyak dari awam. Apalagi jika kaum politisi tadi yang notabene tidak memahami keadaan tetapi mau saja diajak bermufakat pada segala bentuk perilaku buruk. Apakah kaum intelektual hanya bisa diam?

Saya kira tidak. Bangkit melawan adalah bentuk paling lemah dari kaum intelektual dalam menghadapi kedekatan kelompok intelegensia dan politisi daripada diam tertindas . Butuh berapa banyak korban lagi? 


Perihal Undangan Akikah di Negeri Para Raja


Bismillahi Rahmanir Rahim                                                                       

Kasus yang diduga malapraktik memasuki babak baru. Setelah kemarin bersama kriminalisasi melangsungkan pernikahan, belum cukup beberapa hari telah melahirkan anak kedua. Jika anak pertama lahir pada hari yang sama dengan pernikahannya, maka anak kedua lahir dua hari setelahnya.

Antara keduanya juga punya nama yang unik. Hanya dua huruf. Anak pertama bernama FA dan anak kedua bernama IA. Nama panggilannya tidak kalah uniknya. Keduanya memanggul panggilan; "korban". Saya curiga, orang tua mereka malu karena melahirkan dua anak yang kritis. Makanya mereka disebut korban.

Sehubungan dengan kelahiran anak kedua ini, kabarnya keluarga dari (pelaku) malapraktik dan (pelaku) kriminalisasi akan mengadakan akikah. Inisiasi ini dilakukan ditempat yang tidak biasa. Tempat kelahiran mereka berdua. Kantor pihak berwajib di negeri para raja.

Sekedar informasi, meski baru sehari lahir, FA sebagai anak pertama telah memiliki akta kelahiran. Kode akta kelahirannya adalah: S-Pgl/a47/VII/2020. Karena anak kedua proses cetak akta sedang dalam proses, dua anak dari mempelai yang baru menikah akan bersamaan dilaksakan pesta akikah.

Meskipun dua anak ini berjenis kelamin laki-laki, mempelai dan keluarganya enggan mencari dua ekor kambing untuk masing-masing mereka. Mungkin keluarga dari mempelai sedang mengumpulkan pundi-pundi uang. Bukan dalam rangka untuk menghemat, tetapi menjalankan tabiat dasar keluarga yaitu Korupsi. Sekaligus mempertegas gelar Otoriter itu sendiri.

Melalui undangan ini, keluarga kedua mempelai juga mengucapkan banyak terima kasih pada para undangan yang menghadiri pernikahan kemarin. Jumlahnya mencapai 200-an orang lebih. Bisa dibayangkan betapa meriahnya pesta pernikahan kemarin, bukan?

Sebenarnya tidak adil jika kita tidak mengetahui bagaimana keluarga malapraktik ini disana. Terlebih sebelum menghadiri undangan tersebut. Bukannya tak kenal maka tak sayang? Dibawah ini sebuah paparan singkat keluarganya dan yang berhubungan.

Si (pelaku) malapraktik sebenarnya adalah bukan anak tunggal. Dia juga memiliki saudara yang lahir kembar. Mereka bernama Maksus (Makelar Kasus) dan Makpro (Makelar Proyek). Kalo dari segi silsilah, malapraktik lahir dari gen Otoriter Korup. Pernikahan bersama kriminalisasi menggenapi cita-cita keluarga besar mereka untuk mewujudkan sistem Oligarki pada kabupaten tertua di Maluku ini.

Waham keluarga mereka ini sebenarnya tidak serta merta muncul dengan sendirinya. Ada banyak pihak yang menopangnya. Adalah mereka-mereka pemilik sifat haus akan harta dan kekuasaan menggenapi munculnya waham dari keluarga ini. Saking pekatnya keinginan mewujudkan oligarki disana, keluarga malapraktik berkeinginan menguasai kembali daerah ini di tahun 2022. Sungguh sistematis dan terstruktur upaya mereka, bukan?

Malapraktik beserta pelakunya memang selalu meninggalkan ketertarikan sendiri. Selain bisa jadi bukti tidak siap dalam menjalankan tanggung jawab profesi, pola pikir dari si pelaku juga memang masih perlu untuk diperbaiki. Terlebih lagi kenyataan jika yang mengelilingi adalah keluarga sendiri yang otoriter. Semakin menggenapi sikap dari yang bersangkutan.

Pertemuan dengan kriminalisasi bermula sejak malapraktik menyadari diri sedang hamil anak pertama. Tepatnya beberapa bulan yang lalu. Saat FA mulai mengetuk rahim malapraktik, kegelisahan mulai muncul. Dibutuhkan sosok pendamping agar sang “anak” yang sedang dikandung bisa “lengkap” saat diasuh. Kriminalisasi memenuhi ruang untuk mewujud. Tempat pertemuan mereka cukup menarik. Ditempat keluarnya “akte” kelahiran dari FA.

Seperti kebanyakan orang, malapraktik memiliki tanda tersendiri. Adalah dua kain kasa yang tertinggal di Rahim pasien menjadi penanda darinya. Kejadian ini bukan kali pertama dalam dunia medis. Belajar pada apa yang menimpa ibu Tan di Thailand (Agustus 2018), sebenarnya bisa tercegah. Ibu muda ini melahirkan di salah satu fasilitas kesehatan Thalang. Setelah menyadari ada kejanggalan dalam tubuhnya, Tan melayangkan surat keberatan lewat akun pribadi media sosialnya. Otoritas tertinggi bidang kesehatan disana kemudian merespon positif. Lewat bentuk penanganan lanjutan dan kompensasi akhirnya semua berakhir bahagia.

Tentu saja kejadian di Thailand adalah berita buruk untuk malapraktik dan kriminalisasi. Jika yang terjadi disana dilakukan di Maluku Tengah, yakin dan percaya, pernikahan tidak akan terjadi. Dan yang terpenting, dua anak dari mereka tidak akan hadir.

Alhamdulillah. 

Sebagai penutup undangan akikah ini, besar harapan keluarga Otoriter khalayak bisa menyempatkan hadir dalam acara tersebut. Sambil berharap juga undangan ini disebarkan kepada siapapun yang peduli pada dan kenal baik dengan malapraktik dan kriminalisasi.

 

Wallahul Muwafiq ila Aqwamith Thoriq

Wabillahit taufiq wal hidayah

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh




Sebuah Undangan Pernikahan




Salah satu masalah dalam dunia kedokteran di belahan dunia manapun yang hingga saat ini masih terjadi adalah malapraktik. Sudah banyak kasus terkait ini dan penyelesaiannya berbeda-beda. Paling sering, pihak yang dirugikan adalah pasien. Baik itu berujung pada cidera permanen, kehilangan bagian atau fungsi tertentu tubuh, hingga kematian. Beberapa negara juga berbeda dalam memandang kejadian dari malpraktik.

Secara global istilah malapraktik pertama kali digunakan manusia pada tahun 1670. Dari segi makna juga tidak jauh berbeda hingga saat ini. Jika kita buka kamus tertua yang pernah dibuat oleh manusia, kata malapraktik artinya bentuk kelalaian dari tugas profesional atau kegagalan untuk melaksanakan tingkat biasa keterampilan profesional atau belajar dengan satu render layanan profesional yang mengakibatkan cedera, kehilangan, atau kerusakan. Awalnya, penyebutan kejadian ini hanya melekat pada satu profesi saja, yaitu dokter. Makin kesini, makin terbuka. Semua profesi berpeluang melakukan malapraktik.

Untuk konteks Indonesia, istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh majalah mingguan Tempo pada tahun 1986. Dari segi arti, pada Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik. Artinya, makna tersebut masih mengacu pada satu bidang profesi saja.

Seturut dengan itu, sejak 1986 tentu saja sudah banyak kasus malapraktik terjadi di Indonesia. Dari yang masuk kategori ringan hingga yang terberat (kasus meninggal). Meskipun dari semua kasus tersebut, bisa dikatakan sangat sedikit yang akhirnya menguntungkan pihak pasien (korban) dan keluarga. Tidak jauh berbeda sejak Majelis Kehormatan  Disiplin Kedokteran Indonesia lahir empat belas tahun silam. Malapraktik demi malapraktik tetap terjadi.

Dilain sisi, menjadi seorang dokter perlu diakui adalah sebuah profesi yang penuh dengan resiko. Karena berhubungan langsung dengan kelangsungan hidup seseorang. Maka dari itu cukup panjang jalan yang harus dilalui seseorang jika ingin menjadi seorang dokter. Termasuk juga tidak sedikit biaya yang dibutuhkan. Terutama untuk di Indonesia. Singkatnya, jadi dokter di Indonesia itu mahal dan dekat dengan resiko.

Menariknya, mahalnya biaya menjadi dokter dan tingkat resiko terhadap nyawa seseorang tinggi tidak membuat gentar orang untuk memilihnya jadi sebuah profesi. Tentu saja ini masih berhubungan dengan konsekuensi materi saat menjalankan tugas profesi. Karena mahalnya biaya sebuah gelar dokter juga, sangat sedikit dari dokter berkenan ditempatkan di pelosok Republik ini. Beruntung beberapa tahun belakangan pemerintah sudah punya program “Indonesia Sehat”. Meskipun tidak lama, upaya ini patut diapresiasi.

Kembali pada kasus malapraktik.

Selain kasus serupa belum bisa dikatakan selesai, ternyata ada sebutan yang sangat erat dengan kasus malapraktik ini. Istilah Kriminalisasi. Coba kita kembali mengingat kejadian tujuh tahun silam. Saat itu sangat erat hubungan antara (kasus) kriminalisasi dan malapraktik. Adalah kasus dr.Ayu mencuat, khalayak terbagi atas dua kelompok besar. Ada yang mendukung jeratan untuk dokter Ayu, ada juga yang menolak. Kebanyakan dari kelompok kedua dari anggota se-profesi.

Untuk kesekian kalinya, istilah kriminalisasi dan malapraktik menemui ruang untuk bercengkrama. Karena kejadian ini pula, awam akhirnya paham makna dan kondisi ideal kedua kata tersebut digunakan. Tidak main-main, pada 2013 silam, pakar hukum dan tata negara mengambil bagian dalam “pesta” bersatunya malapraktik dan kriminalisasi.

Berbicara soal dua kata tersebut, ada sebuah kejadian cukup menggelitik. Bertempat pada kabupaten tertua di Maluku. Kejadiannya bermula dari sebuah tulisan bernuansa kritik atas indikasi malapraktik di fasilitas kesehatan disana. Pelakunya, konon, masih keluarga dekat dengan orang nomor satu di Kabupaten tersebut.

Tidak terima akan kritik tersebut, dengan dalil pencemaran nama baik, oknum yang terindikasi merupakan pelaku malapraktik melapor ke pihak berwajib. Tentu saja dalih yang digunakan adalah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Akhirnya, selembar surat berkode: S-Pgl/a47/VII/2020/Reskrim dikeluarkan. Sontak memancing reaksi yang tidak sedikit dari banyak pihak. Seolah satu pemahaman, semua orang menganggap laporan tersebut adalah bentuk pembungkaman pada nalar kritis.

Meskipun saya bersepakat dengan kesimpulan ada upaya pembungkaman terhadap nalar kritis, bukan itu yang membuat saya hampir tertawa. Yang lucu dari kejadian ini adalah latar belakang asal dari si pelapor. Jika betul dia adalah keluarga dekat dari kepala daerah disana, tindakan melapor yang dilakukan adalah sebuah kecerobohan. Apalagi jika kita hubungkan niatan “mengkondisikan” pengganti Bupati sekarang berasal dari keluarga sendiri. Bukankah ini bentuk bunuh diri secara politik.

Hal lain yang tidak kalah lucu, adalah campur tangan alat negara dalam kasus ini. Jika betul pihak berwajib meneruskan proses ini, disaat bersamaan, pihak berwajib menceburkan diri ke dalam pekatnya lumpur oligarki dalam peta perpolitikan disana. Terlebih jika kita perhatikan sepak terjang beberapa waktu belakangan ini , sang Bupati menunjukkan sikap otoriter. Salah satu bukti, pengangkatan pejabat sementara salah satu desa tertua di Maluku Tengah. Kabarnya, yang bersangkutan masih orang dekat dari si Bupati. Akibatnya, sikap otoriter daru pucuk pimpinan kabupaten menurun padanya. Lihat saja kejadian kekerasan di Sawai beberapa waktu lalu.

Bukankah otoritarian sangan lekat hubungannya dengan laku korup? Jika sudah begitu, nepotisme dan kolusi tinggal tunggu waktu untuk mewujud.
Berangkat dari kondisi diatas, bagi saya tidak ada alasan untuk menyerahkan kepercayaan pada kabupaten tertua di Maluku ini ke keluarga penguasa yang otoriter tersebut. Apalagi dengan mencuatnya kasus kriminalisasi ini, semakin memperteguh boroknya wajah kekuasaan yang berpraktik disana. Jika hari ini si aktivis menjadi korban, bisa jadi saya, anda, dan semua kita bisa mereka lenyapkan jika berlawanan. Apakah prilaku korup dan wajah borok kekuasaan ini akan terus diterima?

Mari selamatkan Maluku Tengah dari segala praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang otoriter dan korup disana. Satu kata untuk itu, lawan!

Karena diam adalah sebuah pengkhianatan.