Budaya dan Kesehatan

Juni 21, 2016 Mashuri Mashar S.KM 0 Comments






Berbicara tentang budaya dan pengaruhnya terhadap kesehatan masyarakat tidak bisa lepas dari teori Culture-Determinism. Dua ahli yang mengemukakan itu dari sekian banyak ahli budaya adalah Melville J Herskovits dan Bronislaw Malinowski. Menurut mereka segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Tentunya termasuk segala hasil cipta, rasa dan karsa yang berhubungan dengan kesehatan itu sendiri. Hal tersebut kemudian termasuk juga dengan kebudayaan yang turun termurun atau Herskovits dikenal dengan istilah Superorganic. Lebih lanjut akhirnya hubungan antara budaya dan kesehatan itu sendiri berujung pada berbagai istilah, yang paling terkenal adalan etnomedicine. Etnomedicine sendiri merupakan cabang dari etnobotani, dimana itu merupakan salah satu bentuk penyelesaian masalah kesehatan yang memakai pendekatan tradisional, contohnya ramuan jamu atau praktek pijat.

Yang menarik kemudian ialah, untuk konteks Indonesia yang notabene merupakan negara tropis dan memiliki 2 musim, memiliki terminologi  sendiri dalam memaknai konsep sehat-sakit. Ini menjadi penting mengingat etnomedicine yang berkembang di Indonesia, sangat berhubungan dengan konsep sehat-sakit tersebut. Sebagai contoh, konsep sehat yang berkembang dihampir seluruh wilayah peolosok Indonesia adalah ketika seseorang “masih” mampu melakukan segala hal dan kondisi batinnya baik-baik saja. Artinya selama seseorang masih produktif dan berperan secara sosial, dia, dikatakan sehat. Atau contoh lain, seorang anak dikatakan sehat selama dia masih memiliki nafsu makan yang besar dan masih bergairah untuk bermain/bergerak.  Akhirnya bisa disimpulkan, untuk orang dewasa, sehat ialah mampu bekerja dalam keadaan senang dan untuk anak-anak adalah masih mau makan dan senang bermain.

Bagaimana dengan konsep sakit?. Secara garis besar, di Indonesia, penyebab suatu penyakit bisa disebabkan oleh dua hal. Yang pertama, penyebabnya diri sendiri, atau konsep personalistik. Penyebab diri sendiri lebih erat hubungannya dengan sesuatu hal yang gaib (menurut kepercayaan kebanyakan masyarakat kita). Mulai dari mahluk supernatural( hantu, dan atau roh leluhur) hingga perbuatan manusia yang lain (dukun sihir). Dan karena hubungannya dengan diri sendiri serta berkaitan dengan hal yang gaib, bentuk penanganannyapun lebih banyak dititikberatkan pada aspek keparcayaan. Mulai dari berbagai aktifitas sehari-hari yang diparcaya mampu mencegah kondisi tersebut, misalnya prilaku cuci kaki sebelum masuk rumah pada masyarakat jawa yang dipercaya mampu mencegah/menghilangkan ruh jahat yang dijumpai dijalan untuk ikut masuk kerumah, hingga membutuhkan peran orang lain sebagi perantara dalam menghilangkan/atau pengobati dari kondisi sakit tersebut, misalnya dukun.

Yang kedua, sakit disebabkan karena lingkungan/alam, atau dikenal dengan konsep naturalistik. Karena Indonesia merupakan negara yang subur, atau meminjam adigium Gemah Ripah Loh Jenawi, maka sebagian besar aktifitas masyarakat kita berada diluar rumah. Dalam artian potensi untuk menjadi sakit karena cuaca, keracunan makanan, bisa beracun, hingga kecelakaan, merupakan sesuatu hal yang niscaya bisa dialami. Bentuk penangannanyapun beragam di Indonesia, bisa cara yang sederhana atau yang paling ekstrim. Misalnya untuk penyakit masuk angin, bagi masyarakat kita ini merupakan sakit yang ringan, dan bentuk penanganannyapun sederhana, cukup dengan pemijatan/kerokan, dan atau meminum ramuan jamu untuk menghangatkan kembali tubuh sehingga besar harapan kemudian angin yang masuk tadi bisa keluar. Atau penanganan yang paling ekstrim bisa dilihat pada orang Marind-Anim yang mendiami Selatan Papua. Ketika ada orang Marind-Anim yang mengalami sakit, dan kemudian menurut dukun setempat karena guna-guna. Dan itu dikarenakan telah terjadi ketidakseimbangan antara masyarakat yang mendiami daerah tersebut dengan kemampuan alam dalam menampung mereka, maka mereka parcaya akan datang orang kuat (Tikanem) yang akan melakukan pembunuhan terhadap warga dari masing-masing kampung secara berurutan sebanyak lima orang (Dumatubun, 2001).

Coba bandingkan dengan konsep sehat-sakit yang dikembangkan oleh WHO, sebagai salah satu organisasi international yang kosentrasi pada permasalahan kesehatan di dunia.  Sehat adalah suatu keadaan lengkap fisik, mental, dan kesejahtraan sosial dan bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan (WHO, 1948). Artinya, jika mengacu pada definisi diatas, bisa jadi hampir seluruh masyarakat dunia, atau khususnya Indonesia dalam kondisi tidak sehat. Karena jika ditelusuri lebih jauh, WHO akhirnya menitikberatkan definisi tersebut dalam kesehatan fisik dan psikis(jiwa). Walau disaat bersamaan WHO juga menafikkan konsep sehat-sakit secara naturalistik, yang merupakan kesepakatan masing-masing dari sebagian besar suku bangsa yang ada di Indonesia. Ini tentunya tidak begitu mengherankan, hal yang senada dengan WHO dalam menterjemahkan segala hal yang berhubungan dengan kesehatan ialah Bank Dunia sebagai sesama lembaga dibawah naungan Perserikatan Bangsa-bangsa. Karena jika mengacu pada data Bank Dunia, karakteristik sebuah negara yang tersebar hanya ditentukan oleh Populasi penduduk, persentasi pertumbuhan penduduk tiap tahun, angka kematian bayi tiap tahun perseribu kelahiran hidup, persentasi angkatan kerja pertanian tiap tahun, pendapatan kotor nasional perkapita, dan jumlah akademisi/tehnisi yang terlibat dalam penelitian per 100.000 penduduk (Bank Dunia: World Development Report 1988). Sehingga bisa dikatakan secara global mereka (lembaga-lembaga dunia) mengenyampingkan keberadaan etnomedicine itu sendiri, dengan sendirinya akhirnya juga tidak mengakui praktek yang berhubungan dengan kesehatan baik dalam rangka pencegahan maupun pengobatan.

Walau tidak semua konsep etnomedicine berdampak positif pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia, bukan berarti akhirnya kita, sebagai masyarakat yang mendiami ribuan pulau dan beragam suku bangsa tadi kemudian bisa dengan sewenang-wenang meninggalkan budaya leluhur yang berhubungan dengan kesehatan itu sendiri. Ambil contoh salah satu ritual untuk ibu pasca melahirkan (nifas) yang dilakukan di Mentawai. Pada masa nifas, seorang ibu diwajibkan mengkonsumsi untuk minum cairan hasil fermentasi dari sagu (dengan kadar tertentu) walau belakangan sudah diganti dengan minuman bir hitam (dengan kadar tertentu) kemudian dicampur dengan sebutir telur ayam kampung selama seminggu. Ritual ini dipercaya mampu mencegah si ibu dari gangguan roh-roh halus yang mengancam. Salah satu bukti kegagalan roh halus ketika mencoba masuk dalam tubuh ibu, ialah ketika ada peningkatan jumlah darah yang keluar. Namun begitu, ternyata ramuan tadi secara tidak sengaja, justru berdampak positif terhadap kesehatan ibu dan si jabang bayi, mulai dari membantu proses pembersihan darah sisa persalinan hinga bisa memulihkan kembali tenaga si ibu yang banyak terkuras ketika melahirkan. Selain itu ternyata ramuan tersebut juga mampu meningkatkan jumlah produksi Air Susu Ibu (ASI), dan akhirnya ini sangat membantu si jabang bayi dalam peningkatan kualitas ASI Eksklusif dimasa 1000 hari pertumbuhan otaknya. Atau contoh lain yang dipraktekkan oleh ibu-ibu di Nusa Tenggara Barat. Untuk mengatasi penyakit yang banyak diderita anak-anak mereka, apa lagi ketika musim buah tiba ialah buang air besar yang berlebihan dan encer. Untuk ibu-ibu di NTB memberikan pucuk daun jambu yang sebelumnya dikunyah kepada si anak yang menderita penyakit tadi. Ritual ini dipercaya mampu menghilangkan ruh-ruh jahat yang masuk melalui buah-buahan tadi. Dan disaat bersamaan justru praktek tersebut juga sejalan dengan khasiat dari daun jambu batu tadi, untuk mengatasi diare. Atau bisa juga peran para sanro (dukun) yang juga banyak berfungsi di suku Bugis bukan?.


Berangkat dari kondisi diatas, menurut penulis agak berlebihan kiranya ketika kita dengan sewenang-wenang kemudian beranggapan bahwa masyarakat Indonesia mengalami sakit seperti terminologi yang dibangun oleh WHO. Karena sepakat atau tidak, masyarkat kita terdahulu selalu mempunyai cara dalam mengatasi berbagai permasalahan, khususnya kesehatan itu sendiri. Dalam artian, jangan sampai karena kita terjebak pada jargon perkembangan teknologi pengobatan dewasa ini, dan akhirnya secara serampangan menghilangkan atau bahkan tidak mengakui bentuk-bentuk pengobatan atau pencegahan terhadap masalah kesehatan yang sejak dahulu kala diberlakukan di Indonesia. Tentunya ini tidak berlaku pada varian penyakit yang baru ditemukan beserta bentuk penanganannya. Karena secara garis besar permasalahan kesehatan secara tradisional yang dipercaya di Indonesia hanya berhubungan pada 3 hal; Manusia, Lingkungan, dan Tuhan(pencipta). Artinya ketika ketiganya mengalami keseimbangan, tentunya kita (manusia) akan sehat, setidaknya ini dipercaya oleh leluhur kita sejak dari dahulu kala.

Disclaimer gambar:
Ilustrasi dukun,sumber: Wikipedia